Hasil Resume Buku,,,


Sebelum membaca mari bersama2 melafadzkan Basmallah…

 

hehe…Resume-an ini merupakan konsekuensi izin (syar’i) dari Rapat Internal Tim DPR FKAR (Forum Kerjasama Alumni Rohis)…konsekuensi-nya macam2, mulai dari yg izin (syar’i) menurut temen2, izin (gk syar’i), and double konsekuensi buat yg izin kagak, dateng juga kagak…fiuhhh!!! Serem but Seruuu!!!…

DPR logo

so, This is it…Inilah hasil Resume-annya,,,

————————————–

 

Buku yang ana resume ini merupakan buku “Konsultasi Manajemen” yang berjudul “Sukses Berdasarkan Prinsip Sungai” ditulis oleh Gede Prama, MBA., MA. 1997…Buku ini walaupun agak lawas, namun cukup fresh, ringan dan bisa menjadi alternatif bahan bacaan di saat senggang. Sistematika buku ini dibagi dalam 3 bagian..Pertama, buku ini diawali dengan artikel sintesa berjudul ‘sukses berdasarkan prinsip sungai’. Kedua, kumpul-kumpulan ide yang terdiri dari hal2 yang berkaitan dengan inner management (mengelola diri sendiri) atau self management. Ketiga, mencakup outer management (mengelola hal2 diluar diri).

 

Pada kesempatan ini, yang akan ana coba resume adalah bagian pertama dari buku ini yang merupakan artikel sintesanya yang berjudul ‘sukses berdasarkan prinsip sungai’

————————————–

 

Telah menjadi harapan nyaris semua orang, agar hidupnya bisa berjalan dalam kaidah2 yang dinilai sukses. Demikian kuatnya keyakinan akan hal ini, sehingga hampir semua energi dan waktu kebanyakan orang dialokasikan untuk mencapai tujuan ini. Kendati ukuran, kriteria, pedoman, dan kaidah sukses masih tetap relatif dari dulu hingga sekarang, namun tetap saja orng mencarinya dengan penuh semangat. Ilmu terapan seperti manajemen juga telah lama sekali dihadiri oleh resep-resep sukses. Dari sukes menjual, memasarkan, mencari uang, meningkatkan karir, dan masih banyak lagi. Seolah-olah ada resep baku yang secara sim salabim bisa membuat seseorang sukses dalam waktu tertentu…

 

Agak berbeda dengan sejumlah orang yang menempatkan ilmu sukses seperti menu yang siap disantap, dibuku ini cenderung menempatkan –ilmu yang manapun- hanya sebagai bahan yang siap diolah. Sehebat apapun sebuah bahan, ia tetap memerlukan ketekunan dan kecermatan tukang olahnya, agar bisa berakhir pada kondisi sukses. Oleh karena alasan tersebut, ulasan berikut lebih banyak ditujukan untuk menambah alternatif bahan yang bisa antm semua olah, dibandingkan dengan menu yang siap disantap. Demi Kesuksesan dan Berkembangnya Dakwah Sekolah kedepan…

 

Oke, Selamat mengumpulkan bahan olahan…Kita Mulai…

————————————–

Belajar dari Sungai

 

Kesenangan hidup dan tinggal bertahun-tahun di tepi sungai, membuat saya banyak sekali merenungi makna sungai. Rupanya, sungai tidak hanya menghadirkan suara gemercik yang membuat hati sejuk, melainkan juga menyimpan banyak kearifan sukses. Setelah cukup lama melakukan perenungan, saya bertemu tujuh kearifan sukses ala sungai. Pertama, coba perhatikan proses bagaimana air bisa mengalir asri di sungai. Semua komponen yang membuat keasrian tadi menyatu menjadi satu. Dari air, batu, tanah, pohon sampai dengan rumput. Semuanya terjalin seperti sebuah rajutan kain yang rapi dan indah. Menyatu, saling melengkapi, dan saling mengisi. Ini mengingatkan saya pada ide fisikawan David Bohm dalam Wholeness And The Implicate Order, yang mengidentikkan kata health (kesehatan) dengan kata whole (keseluruhan). Mirip sekali dengan sungai yang dibentuk oleh komponen-komponen yang menyatu, kesehatan versi David Bohm ini juga hanya bisa ditemukan bila kita hidup dalam keseluruhan. Hal fundamental dalam konsep terakhir ini, kesehatan hanya mungkin tercapai bila kita berfikir dalam pola yang mempersatukan, persis seperti sungai, bukannya dalam bagian-bagian seperti body, mind dan spirit. Sayangnya, banyak sekali konsep penyembuhan berkembang yang hanya melihat kesehatan secara parsial. Seterusnya timbul hama atau virus yang memiliki kekebalan lebih tinggi dari pestisida atau obat yang bisa ditemukan, adalah bukti kuat betapa logika ‘membasmi’ –yang jelas-jelas berfikir parsialistik- telah gagal memberikan pemecahan jangka panjang terhadap kesehatan dalam masyarakat.

 

Kedua, lihatlah sungai dan lihatlah kembali. Ia bukan lagi sungai yang sama. Karena setiap detik airnya berganti. Untuk itu, orang yang tidak menikmati asrinya sungai detik ini, pasti kehilangan kesempatan untuk menikmatinya. Sekarang coba bandingkan perlambang terakhir dengan kehidupan. Orang bijak menyebut masa lalu sebagai kenangan, dan masa depan sebagai bayangan. Kedua-duanya tidak bisa disentuh. Oleh karena itu, bukan juga sebuah kebetulan bila orang inggris menyebut masa kini sebagai present (hadiah). Ia adalah hadiah untuk dinikmati. Sebagai praktisi, pengajar, maupun konsultan, saya telah bertemu dengan ribuan orang-oaang susah maupun gembira. Beda utama antara keduanya hanya terletak pada cara memperlakukan masa kini. Orang bahagia menikmatinya seperti hadiah. Orang susah menyesalinya dengan seribu satu macam alasan.

 

Ketiga, keasrian sungai hanya terjaga bila airnya mengalir. Jika tidak, akan terjadi pembusukan disana-sini. Hidup juga demikian. Kebahagiaan lebih mungkin hadir dalam hidup yang mengalir. Aliran terakhir mirip sekali dengan effortless action. Berusaha tetapi tidak memaksa. Meminjam argumen Deepak Chopra dalam Journey Into Healing; ‘there are some things that require no work, and healing is one of them’. Belajar dari sungai, ia ahanya mungkin mengalir jika sumber airnya memadai. Berbeda dengan sumber air sungai yang terletak di gunung, sumber air kehidupan terletak dimana-mana. Orang sakit dirumah sakit menghadirkan nikmatnya sehat. Pengemis di pinggir jalan memberi pembanding untuk hidup bersyukur. Orang kaya dikompleks perumahan mewah memacu perjuangan hidup. Dan masih banyak lagi sumber air kehidupan yang memungkinkan kehidupan kita mengalir.

 

Keempat, sudah menjadi sifat sungai dari dahulu hingga sekarang, bila kehadirannya senantiasa menghadiahkan kesuburan pada tempat yang dialirinya. Memang, susah diingkari bahwa pada saat tertentu seperti musim hujan, ia juga bisa menghadirkan bencana banjir. Jadi, mirip sekali dengan kehidupan, sungai juga hadir dalam dua wujud yang saling melengkapi : menyuburkan sekaligus membawa bencana. Menurut saya, ini alasan paling fundamental kenapa sungai bisa senantiasa hadir dalam kehidupan. Setiap kali aspek buruk itu hadir, selalu diupayakan untuk dihilangkan. Hasilnya, seringkali malah berakhir kontra produktif. Aspek buruk yang mau dihindari tadi, malah muncul dalam frekuensi yang lebih sering. Bagi saya kebahagiaan yang lebih permanen –setelah belajar dari ciri sungai yang keempat ini- lebih mungkin hadir bila seseorang menerima dan berhasil mengelola dualitas positif negatif. Orang yang sakit, susah, sengsara dan tidak pernah mensyukuri, banyak ditandai oleh kesediaan hanya menerima yang positif. Dan mengutuk segala hal yang berbau negatif.

 

Kelima, bila kita mencermati aliran air di sungai, sulit sekali mengidentifikasi mana awal dan mana akhir. Siklus alam membuatnya kelihatan tanpa awal dan tanpa akhir. Kehidupan juga demikian. Namun, tidak sedikit manusia modern yang melihat hidup dan kehidupan seperti tangga. Hanya merasa sukses setelah menjadi presiden direktur. Bahagia setelah tinggal dikompleks elit. Menikmati setelah anak-anak sudah besar. Padahal, setelah sampai di tangga yang diinginkan, sering kali ia terasa hambar tanpa rasa dan makna. Belajar dari air sungai yang tidak berawal dan tidak berakhir, saya mengajak Anda untuk hidup bukan dalam logic of perfection melainkan dalam logic of discovery. Dalam logika kesempurnaan, semua hal dibandingkan dengan apa-apa yang kita nilai sempurna. Namun, karena awal dan akhirnya tidak jelas, maka frustasi mudah timbul. Oleh karena itu, saya merasa kebahagiaan lebih mudah ditemukan dengan cara mengkonsentrasikan diri pada penemuan (discovery). Seperti seorang anak yang berjalan. Ia tidak mengevaluasi salah benarnya. Ia hanya berfikir batapa menyenangkannya bisa berjalan.

 

Keenam, coba dengarkan suara gemercik air di sungai baik dalam keadaan normal maupun banjir. Ia senantiasa terdengar gembira. Seolah-olah air di sungai menikmati sekali bagaimana kehidupan sedang tersenyum kepadanya. Ini mengingatkan saya pada apa yang pernah ditulis Swami Vivekananda : ‘pikiran, kata-kata, dan tindakan kita adalah benag rajutan yang kita tenun pada diri kita sendiri’. Belajar dari sini, sungai mengajarkan kita untuk selalu merajut kegembiraan terus menerus. Sebagaimana pakaian, bila kita merajut ‘baju’ kegembiraan, maka kita akan menikmati baju yang sama. Namun, berbeda dengan rajutan pakaian yang bisa selesai dalam beberapa saat, rajutan kehidupan dengan seluruh kegembiraannya adalah sebuah proses yang berjalan terus-menerus. Mirip seperti menetesi batu dengan air, pelan, perlahan, terus menerus, namun membekas selamanya.

 

Ketujuh, bila eksistensi bisa disederhanakan ke dalam kegiatan menerima dan memberi, sungai termasuk perlambang yang lebih banyak memberi. Bayangkan, apa pun yang ditemui air sungai tetap dialiri tanpa memilih. Segala jenis barang yang di buang ke sungai, baik yang berguna maupun yang berbahaya, ditampung dengan semangat memberi. Dalam kehidupan sungai, tiada detik tanpa memberi. Hasilnya sebagaimana telah kita rasakan, sungai menghadirkan lebih banyak kesejukan, keasrian, kesuburan dan kegembiraan bagi lingkungan sekitar. Sayangnya, dalam masyarakat modern tempat kita hidup, kita semakin kelangkaaan manusia yang mau mengisi sebagian besar hidupnya dengan kegiatan memberi. Tentu saja kegiatan memberi terakhir ini tidak sesempit pemberian materi, tetapi bisa mencakup do’a, sapaan, perhatian, senyum dan masih banyak lagi yang lain. Sebagai konsekuensinya, jika kehidupan terasa hampa, kering, dan penuh frustasi, saya yakin itu lebih karena semakin sempitnya lingkungan masyarakat pemberi.

 

Kemana Pergi dari Sini???

 

Sebagaimana telah ana kemukakan di awal resume ini, tujuh prinsip sungai ini bukan capcay atau nasi goreng yang siap disantap (jadi laper…), dan langsung membuat perut kenyang. Ia lebih mendekati bahan yang mesti diolah kembali. Enak tidaknya hasil yang dicapai tergantung pada sejumlah hal. Dari kecermatan memasak, peralatan yang tersedia, kesabaran tukang masak, lingkungan serta sederet faktor lainnya. Belajar dari semua ini, ana sangat tidak merekomendasikan antm untuk mengkonsumsi mentah-mentah ketujuh prinsip ini, sebagaimana saran dari penulis juga. Sebab, ini hanya akan membuat seseorang menjadi orang lain. Jauh dari aliran sungai kehidupan pribadi yang notabene berbeda dari orang ke orang. Fungsi tulisan ini, hanya seperti rangkaian pohon dan pemandangan di pinggir jalan yang dilalui banyak orang. Mau dilihat, dinikmati, dipelajari, atau dicuekin saja, semuanya adalah bagian dari perjalanan hidup seseorang. Sukses “sebagai catatan akhir” mirip sekali dengan matahari yang terbit di pagi hari. Rumput ilalang yang tumbuh disembarang tempat. Ikan yang berenang dilaut. Burung-burung yang bernyanyi di atas pohon. Anak-anak yang bernyanyi riang gembira. Bintang yang berkilauan di langit. Dan air yang mengalir disungai. Semuanya mengalir, berputar dan menjalankan fungsinya jauh dari kaidah-kaidah yang memaksa.

 

Demikian, Kita tutup dengan lafadz Hamdallah…
(Semoga Bermanfaat…)

Tinggalkan komentar